-->

Ecky Lamoh, Korban Status Facebook Berujung Pasal Karet UU ITE

Ecky Lamoh, Korban Status Facebook Berujung Pasal Karet UU ITE
BANTUL, LELEMUKU.COM - Bagi penggemar musik rock tahun 90-an, nama Ecky Lamoh tentu tak asing. Suaranya melengking dan garang di panggung. Dia dalah vokalis Edane dan pernah juga bergabung dengan Elpamas. Kiprahnya memiliki catatan tersendiri dalam sejarah musik Indonesia. Meski tak seaktif dulu, Ecky Lamoh masih sering manggung belakangan ini.

Dalam setengah tahun terakhir, kesibukannya bertambah. Dia harus duduk sebagai tersangka dalam perkara pencemaran nama baik, dengan pelapor kakak iparnya sendiri. Hampir setiap dua minggu sekali, Ecky “manggung” di ruangan Pengadilan Negeri Bantul. Setidaknya dalam dua minggu ke depan, Ecky akan mendengar putusan hakim terkait kasusnya. “Saya tidak bersalah, harapannya bisa bebas murni,” ujarnya kepada VOA.

Semua ini bermula dari unggahan status Facebook Ecky yang mempertanyakan kinerja polisi atas kasus penggelapan sertifikat tanah. Ecky melaporkan pelaku, yang tidak lain kakak iparnya sendiri, sejak 2013 dan tidak ada tindak lanjut hingga 2015. Status itu diunggah Ecky pada September 2015 dan Maret 2016. Oktober 2017, Ecky dilaporkan kakak iparnya ke polisi dan pada bulan yang sama dia dijadikan tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dengan dasar Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Juni 2018, Ecky mulai disidang di PN Bantul, DI Yogyakarta.

“Saya tidak pernah menulis kata-kata yang kasar, tidak pernah menulis kebencian. Saya minta tolong kepada Kapolri, Kabareskim, Wakapolri yang terhormat. Kalau kita sekolah kan jelas tahu, itu ditujukan kemana. Jaksa memaksakan hal yang negatif dilakukan orang, dipaksakan kepada orang yang tidak melakukan hal yang negatif,” kata Ecky Lamoh.

Korban UU ITE Berjatuhan


Di Yogyakarta, UU ITE telah memakan sejumlah korban. Pada 2014, Florence Sihombing, mahasiswa S2 UGM disidang karena statusnya di Path. Kemudian Ervani, istri seorang buruh diseret ke pengadilan karena mengeluhkan situasi di tempat suaminya bekerja. Fatkhurrohman, seorang pemilik kucing, dihukum percobaan enam bulan dan denda Rp 5 juta, karena mengkritik layanan sebuah klinik hewan. Komunitas pecinta kucing di Yogyakarta menggelar saweran dan berhasil membayar denda uang itu dalam dua hari.

Di Semarang, jurnalis media siber Serat.id, Zakki Amali dilaporkan ke polisi dengan senjata UU ITE juga. Serat.id adalah media yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. Sebuah investigasi mendalam dilakukan jurnalis terkait dugaan plagiat Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes). Mereka merilisnya dalam empat laporan dan terbit 30 Juni 2018. Sebagai perimbangan, Serat.id juga memberitakan sanggahan pihak Unnes sebagai pemenuhan hak jawab.

Uniknya, 21 Juli 2018, Rektor Unnes Fathur Rokhman melaporkan Zakki Amali ke Polda Jawa Tengah dengan dasar Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

“Laporan Serat.id itu adalah produk pers atau karya jurnalistik. Laporan itu harus dilihat sebagai upaya pers nasional untuk memenuhi hak konstitusional warga negara memperoleh informasi. Media inimeminta Polda Jawa Tengah menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam menyelesaikan kasus perselisihan pemberitaan,” ujar Aris Mulyawan dari AJI Kota Semarang.

AJI juga menegaskan, laporan Serat.id tentang dugaan plagiat Rektor Unnes merupakan bentuk pemenuhan hak konstitusional warga untuk memperoleh informasi. Hak itu dijamin sepenuhnya oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan diatur dalam UU Pers.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi yang berjuang melindungi hak-hak digital warga di Asia Tenggara, dalam rilisnya menyatakan telah terjadi ancaman terhadap hak berekspresi Zakki Amali. “Pengancaman pidana atas tulisan investigasi yang ditulis oleh Zakki Amali dengan menggunakan pasal defamasi dalam UU ITE jelas merupakan upaya intimidasi dan kesalahan besar, karena perbuatan Zakki Amali dalam melakukan investigasi dan menuliskannya, jelas tidak dapat dipidana dan justru dilindungi oleh hukum Indonesia,” tegas Bimo Fundrika dari SAFEnet.

SAFEnet mencatat, dalam 10 tahun terakhir ada 245 laporan kasus terkait UU ITE. Dari jumlah itu, 35,9 persen pelapornya justru pejabat pemerintah seperti kepala daerah, menteri, staf kementerian dan aparat keamanan. Dalam periode yang sama, terjadi 16 kasus hukum terkait jurnalistik, yang memidanakan 14 jurnalis dan tujuh media.

Pasal Karet Perlu Dihapus


Pengacara Ecky Lamoh dari LBH Yogya, Yogi Zul Fadhli tegas menyangsikan bahwa apa yang diungkapkan kliennya adalah sebuah penghinaan. Fakta persidangan termasuk keterangan para saksi memperjelas hal itu. “Menurut Ecky, dan bukti postingan yang dimunculkan di pesidangan, jelas bahwa postingan itu ditujukan kepada Kapolri, atau polisi, atas lambatnya penanganan laporan Ekcy di Polres Bantul pada 2013,” kata Yogi.

Dalam kasus terkait ITE secara umum, lanjut Yogi, subyektifitas pelapor tidak bisa dijadikan satu-satunya rujukan. Apalagi, subjektivitas itu menyangkut perasaan dihina, yang tidak bisa diukur atau dianalisa secara objektif.“Tidak bisa hanya dilihat secara subjektif dan tekstual saja, juga harus dilihat secara kontekstual kenapa Ecky sampai membuat postingan yang sedemikian rupa. Postingan itu muncul, konteksnya adalah karena lambannya penanganan laporan polisi yang dilakukan Ecky pada 2013,” kata Yogi.

Dalam hal ini, tambah Yogi, apa yang diungkapkan Ecky adalah sebuah kritik terhadap kinerja aparat kepolisian, bukan penghinaan terhadap seseorang.

LBH Yogya telah berkali-kali mendampingi terdakwa kasus UU ITE. Menurut Yogi, pasal 27 ini ayat 3 ini memiliki kelemahan mendasar, yaitu karena frasa penghinaan bisa memiliki pemaknaan yang sangat luas. Secara umum, publik menyebutnya sebagai pasal karet, yang dapat diulur ke mana-mana untuk menjerat seseorang.

Masalahnya, tambah Yogi, para ahli bahasa yang kerap diajukan sebagai saksi ahli dalam kasus ITE, juga memiliki penjelasan berbeda tentang makna penghinaan. Akhirnya semua tergantung sepenuhnya kepada hakim dalam meyakini perkara yang dia tangani. Tidak mengherankan apabila vonis yang dijatuhkandalam perkara-perkara ini beragam.

Ini pulalah yang mendorong organisasi sipil terus berjuang menghapus pasal pencemaran nama baik, dari sistem hukum di Indonesia.

“Secara umum semua delik yang terkait dengan defamasi atau pencemaran nama, menurut kami itu bukan sebuah tindak pidana. Itu bagian dari pengejawantahan dari hak menyatakan pendapat dan pikiran, bukan merupakan delik pidana. Pasal ini tidak hanya harus sekadar direvisi atau diturunkan ancaman hukuman dan dendanya, tetapi juga dihapuskan norma pasalnya,” kataYogi Zul Fadhli. (VOA)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel