Lahan Diserobot Perusahaan, Masyarakat Tanah Bumbu Mengadu ke Kemenko Polhukam RI
Pada
Wednesday, March 6, 2019
Edit
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan melakukan pengaduan perihal pencaplokan atau penyerobotan lahan oleh beberapa perusahaan di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Hak Azazi Manusia (HAM), Jakarta Pusat pada hari Selasa (5/2).
Forum FMGB dalam hal ini mewakili warga masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa Sebamban Lama, Desa Trimartani di Kecamatan Sungai Loban dan Desa Hati’if Kecamatan Kusan Hulu mengadukan eks Perusahaan Pengusahaan Hutan milik Probosutejo yang sekarang menjadi PT. Hutan Rindang Banua (HRB) milik Sinarmas Group, United Fiber System Singapura dan PT. Borneo Indo Bara (PT.BIB) karena petanian dan perkebunan lahan yang dicaplok dengan perincian antara lain: lahan desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama leluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha dan desa Hati’if seluas 741 Ha.
Kuasa hukum Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) A. Gafar Rehalat mengatakan pertemuan dengan Kemenko Polhukam untuk mengajukan permohonon perlindungan hukum atas berlakunya putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011 tanggal 12 Februari 2012 maka keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak lagi mengikat dan tidak mempunyai dasar hukum.
"Terkait dengan sengketa lahan tersebut maka kami menggunakan dasar hukum dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12/2/2012 maka keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak lagi mengikat atau tidak mempunyai dasar hukum dan salah satu point putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam menentukan Pengukuhan kawasan Hutan juga harus memperhatikan tata ruang wilayah antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak- hak perorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut," jelas dia.
Dikatakan jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut.
"Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksananya Pasal 24 jo Pasal 76 PP No. 24 tahun 1997 tentang alasan syarat pendaftaran hak atas tanah juga sebagai dasar hukum klien kami," lanjutnya.
Rehalat juga menjelaskan beberapa dasar dan alasan- alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam rujukan dasar hukum tersebut diantaranya surat pernyataan kronologis tanah tanah tersebut (jauh sebelum Menteri Kehutanan menunjuk lahan tersebut masuk kedalam kawasan Hutan Taman Industri pada tahun 1990-an diberikan konsensinya kepada PT. Menara Hutan Buana (PT. MHB) yang dimiliki Probosoetedjo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar di tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.
Di lahan yang sama PT. Borneo Indo Bara (BIB) yang dimiliki oleg PT. Golden Energy Mines (GEMS) anak perusahaan dari PT. Dian Swastika Sentosa (DSSA) untuk dapat mengeksploitasi batubara (sebagian) di atas bekas lahan- lahan perkebunan dan ladang warga masyarakat ke- 4 desa tersebut.
Dikatakan bahwa lahan bekas tanah perkebunan milik masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha tersebut, sejak tahun 2012 sampai dengan saat ini telah diekspolitasi untuk usaha penambangan batubara.
"Berkali- kali warga masyarakat menyampaikan keberatan dan menuntut adanya ganti rugi atas lahan atau tanah tersebut baik dari PT. Menara Hutan Buana atau PT. Hutan Rindang Banua dan/atau PT. Borneo Indo Bara dengan sisten sewa lahan atau fee lahan," ujar dia.
Dikatakan tanah- tanah perkebunan warga masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha diambil alih penguasaannya secara administrasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar yang kemudian SK Menhut tersebut diadakan perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 tentang Balik Nama Pengusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut beralih hak dan kewajibannya dari PT. Menara Hutan Buana kepada PT. Hutan Rindang Buana, status hukumnya sudah lagi tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum sehubungan dengan ada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12-02-2012
"Bahwa pemanfaatan hasil kayu dalam tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) sudah mulai tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, di areal lahan seluas 286.585 Hektar tersebut, tersebar di tiga kabupaten, Tanah Bumbu, Tanah Laut dan Kabupaten Banjar, pada kenyataan di lapangan lahan kawasan pengusahaan hutan tersebut pengusahaannya tidak dilakukan secara benar, justru tanaman akasia tersebut dengan sendirinya tumbuh karena migrasi burung dan udara/ angin selain itu bertahun- tahun terbengkalai, sehingga lahan-lahan yang semula memang merupakan perkebunan masyarakat terdapat sebagian kembali dikuasai dan ditanami kebun oleh warga masyarakat desa-desa tersebut," ujar dia.
Gafar Rehalat juga menyatakan isi surat yang disampaikan kepada Kemenko Polhukam melalui perwakilannya Yulizar Gaffar, diantaranya meminta perusahaan dapat melepaskan tanah- tanah kliennya sesuai dengan bidang peta dalam SKT dari Penunjukan Kawasan Hutan dan SK Menhut Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar juncto Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006.
"Surat ini yang merupakan Produk “Kroni Orde Baru” tersebut yang merugikan masyarakat pemilik lahan kebun untuk selanjutnya dimasukan dalam obyek reforma agraria (Tora) untuk menjadi hak milik warga masyarakat sebagaimana disebutkan luasan dan lokasi berdasarkan “bidang peta tanah” masing- masing dalam surat keterangan perkebunan di atas," ujar dia.
Dikatakan selama lahan-lahan milik kliennya tersebut terus digunakan. Kegiatan usaha penambangan dan menghasilkan produksi batubara, wajib melakukan ganti rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa lahan (fee lahan) sebesar Rp. 15,000,- (lima belas ribu rupiah) per Meterik Ton;
Selanjutnya perusahaah harus melakukan ganti rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa atas tanah-tanah hak/ milik masyarakat yang digunakan jalan angkutan hauling batubara oleh PT. Borneo Indo Bara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah) per MT/ bulan, terhadap tanah- tanah masyarakat yang telah digunakan jalan angkutan batubara di Desa Hati'if, pemekaran dari Desa Mangkalapi dan Desa Sebamban Baru sesuai dengan bukti masing bidang peta SKT Perkebunan dan SPPFBT milik warga masyarakat di Desa Hati'if Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu
Ia menyatakana warga masyarakat desa Sebamban Baru, desa Sebamban Lama, desa Trimartani, desa Hati’if yang berada di Kecamatan Sungai Loban bermaksud ingin melakukan aksi penutupan area tambang PT.BIB dan area kegiatan penanaman kembali hutan tanaman Industri PT.HRB yang saat ini sedang dikerjakan oleh kedua perusahaan tersebut.
"Jika hal tersebut terjadi dikawatirkan dapat menimbulkan bentrok dan persoalan hukum lain, maka oleh karenanya agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan dan dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusif di tahun politik ini sehingga diharapkan Kementerian Kordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dapat segera membantu penyelesaian sengketa masyarakat dengan kedua perusahaan tersebut," ungkap dia. (Marsono)
Forum FMGB dalam hal ini mewakili warga masyarakat Desa Sebamban Baru, Desa Sebamban Lama, Desa Trimartani di Kecamatan Sungai Loban dan Desa Hati’if Kecamatan Kusan Hulu mengadukan eks Perusahaan Pengusahaan Hutan milik Probosutejo yang sekarang menjadi PT. Hutan Rindang Banua (HRB) milik Sinarmas Group, United Fiber System Singapura dan PT. Borneo Indo Bara (PT.BIB) karena petanian dan perkebunan lahan yang dicaplok dengan perincian antara lain: lahan desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama leluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha dan desa Hati’if seluas 741 Ha.
Kuasa hukum Forum Gerakan Masyarakat Borneo (FMGB) A. Gafar Rehalat mengatakan pertemuan dengan Kemenko Polhukam untuk mengajukan permohonon perlindungan hukum atas berlakunya putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011 tanggal 12 Februari 2012 maka keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak lagi mengikat dan tidak mempunyai dasar hukum.
"Terkait dengan sengketa lahan tersebut maka kami menggunakan dasar hukum dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12/2/2012 maka keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak lagi mengikat atau tidak mempunyai dasar hukum dan salah satu point putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam menentukan Pengukuhan kawasan Hutan juga harus memperhatikan tata ruang wilayah antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak- hak perorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut," jelas dia.
Dikatakan jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut.
"Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksananya Pasal 24 jo Pasal 76 PP No. 24 tahun 1997 tentang alasan syarat pendaftaran hak atas tanah juga sebagai dasar hukum klien kami," lanjutnya.
Rehalat juga menjelaskan beberapa dasar dan alasan- alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam rujukan dasar hukum tersebut diantaranya surat pernyataan kronologis tanah tanah tersebut (jauh sebelum Menteri Kehutanan menunjuk lahan tersebut masuk kedalam kawasan Hutan Taman Industri pada tahun 1990-an diberikan konsensinya kepada PT. Menara Hutan Buana (PT. MHB) yang dimiliki Probosoetedjo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar di tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.
Di lahan yang sama PT. Borneo Indo Bara (BIB) yang dimiliki oleg PT. Golden Energy Mines (GEMS) anak perusahaan dari PT. Dian Swastika Sentosa (DSSA) untuk dapat mengeksploitasi batubara (sebagian) di atas bekas lahan- lahan perkebunan dan ladang warga masyarakat ke- 4 desa tersebut.
Dikatakan bahwa lahan bekas tanah perkebunan milik masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha tersebut, sejak tahun 2012 sampai dengan saat ini telah diekspolitasi untuk usaha penambangan batubara.
"Berkali- kali warga masyarakat menyampaikan keberatan dan menuntut adanya ganti rugi atas lahan atau tanah tersebut baik dari PT. Menara Hutan Buana atau PT. Hutan Rindang Banua dan/atau PT. Borneo Indo Bara dengan sisten sewa lahan atau fee lahan," ujar dia.
Dikatakan tanah- tanah perkebunan warga masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha diambil alih penguasaannya secara administrasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar yang kemudian SK Menhut tersebut diadakan perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 tentang Balik Nama Pengusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut beralih hak dan kewajibannya dari PT. Menara Hutan Buana kepada PT. Hutan Rindang Buana, status hukumnya sudah lagi tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum sehubungan dengan ada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12-02-2012
"Bahwa pemanfaatan hasil kayu dalam tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) sudah mulai tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, di areal lahan seluas 286.585 Hektar tersebut, tersebar di tiga kabupaten, Tanah Bumbu, Tanah Laut dan Kabupaten Banjar, pada kenyataan di lapangan lahan kawasan pengusahaan hutan tersebut pengusahaannya tidak dilakukan secara benar, justru tanaman akasia tersebut dengan sendirinya tumbuh karena migrasi burung dan udara/ angin selain itu bertahun- tahun terbengkalai, sehingga lahan-lahan yang semula memang merupakan perkebunan masyarakat terdapat sebagian kembali dikuasai dan ditanami kebun oleh warga masyarakat desa-desa tersebut," ujar dia.
Gafar Rehalat juga menyatakan isi surat yang disampaikan kepada Kemenko Polhukam melalui perwakilannya Yulizar Gaffar, diantaranya meminta perusahaan dapat melepaskan tanah- tanah kliennya sesuai dengan bidang peta dalam SKT dari Penunjukan Kawasan Hutan dan SK Menhut Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar juncto Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006.
"Surat ini yang merupakan Produk “Kroni Orde Baru” tersebut yang merugikan masyarakat pemilik lahan kebun untuk selanjutnya dimasukan dalam obyek reforma agraria (Tora) untuk menjadi hak milik warga masyarakat sebagaimana disebutkan luasan dan lokasi berdasarkan “bidang peta tanah” masing- masing dalam surat keterangan perkebunan di atas," ujar dia.
Dikatakan selama lahan-lahan milik kliennya tersebut terus digunakan. Kegiatan usaha penambangan dan menghasilkan produksi batubara, wajib melakukan ganti rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa lahan (fee lahan) sebesar Rp. 15,000,- (lima belas ribu rupiah) per Meterik Ton;
Selanjutnya perusahaah harus melakukan ganti rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa atas tanah-tanah hak/ milik masyarakat yang digunakan jalan angkutan hauling batubara oleh PT. Borneo Indo Bara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah) per MT/ bulan, terhadap tanah- tanah masyarakat yang telah digunakan jalan angkutan batubara di Desa Hati'if, pemekaran dari Desa Mangkalapi dan Desa Sebamban Baru sesuai dengan bukti masing bidang peta SKT Perkebunan dan SPPFBT milik warga masyarakat di Desa Hati'if Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu
Ia menyatakana warga masyarakat desa Sebamban Baru, desa Sebamban Lama, desa Trimartani, desa Hati’if yang berada di Kecamatan Sungai Loban bermaksud ingin melakukan aksi penutupan area tambang PT.BIB dan area kegiatan penanaman kembali hutan tanaman Industri PT.HRB yang saat ini sedang dikerjakan oleh kedua perusahaan tersebut.
"Jika hal tersebut terjadi dikawatirkan dapat menimbulkan bentrok dan persoalan hukum lain, maka oleh karenanya agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan dan dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusif di tahun politik ini sehingga diharapkan Kementerian Kordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dapat segera membantu penyelesaian sengketa masyarakat dengan kedua perusahaan tersebut," ungkap dia. (Marsono)