Rekolonialisasi Dalam Wujud Baru
Pada
Wednesday, March 13, 2019
Edit
Kemiskinan tidak lenyap walaupun jutaan dollar dihabiskan untuk pembangunan. Memang tidak mengherankan mengingat agenda politik negara saat ini lebih dominan menjadi spirit dalam memberi bantuan daripada menjawab kebutuhan publik untuk melenyapkan kemiskinan.
Ada tiga faktor esensial yang menyebabkan praktik bantuan yang bercorak 'speculative, metaphysics dan pragmatic' yang dijalankan oleh IMF maupun World Bank justru sering berdampak buruk pada semua negara berkembang yang notabene menjadi negara dengan paling besar nilai utangnya, salah satunya Indonesia.
Rekolonialisasi dalam wujud baru telah mendapat pijakannya pada negara yang secara politik kehilangan visi orientasinya bagi keberlangsungan bangsa dalam jangka panjang. Hampir di beberapa negara berkembang krisis ekonomi selalu tetap bergandengan tidak terpisahkan dengan kondisi carut marut politiknya negara. Negara kemudian secara politis tidak demokratis dan tidak berorientasi pada rakyat dan secara ekonomis sangat bergantung pada dikte kepentingan negeri pemberi bantuan. Liberalisasi dan kebijakan-kebijakan liberal pemotongan konpensasi pada kepentingan-kepentingan publik sebagai syarat mutlak penerimaan bantuan membuktikan bahwa negara secara praktis telah gagal, ditambah lagi tata kelola manajemen negara yang selalu bermasalah dengan tingkat penyelewengan dan korupsi yang akut serta kebijakan yang syarat dengan politik oligarkhi yang otoritatif.
Sistem politik oligarkhi dan kecenderungan tidak demokratis ini menyebabkan ruang-ruang kontrol aktif dari masyarakat terhadap evaluasi pelaksanaan pembangunan terutama berkait dengan berbagai proyek bantuan tidak berjalan semestinya. Kebijakan pembangunan selalu sarat dengan watak elitis dan kadang pragmatis tanpa penggalian pertimbangan dan riset kajian yang jauh.
Cepat atau lambat kondisi ini menyebabkan lahirnya kultur ketergantungan bagi masyarakat sendiri. Secara pragmatis masyarakat kemudian terbiasa dengan bantuan pertolongan orang lain. Contoh yang paling nampak dan hampir secara holistik dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia adalah 'proyek pengentasan kemiskinan' yang selalu dianggap mudah dan hanya diselesaikan dengan asumsi-asumsi dan logika proyek.
Hal ini dianggap cukup urgent dan selama ini tidak dilakukan oleh sebagian besar negara berkembang dalam rangka menjawab problematika bantuan ini adalah mentalitas "keberanian" dari kepemimpinan politik untuk mengatakan "tidak" bagi intervensi asing. Harapan ini kadang dianggap sebelah mata dan langkah konyol dalam kebijakan politik. Padahal secara praktis maupun ideologis cara ini menjadi pintu awal untuk memotong struktur ketergantungan yang menjadi akar ketimpangan sosial dan ketidakadilan global.
Dalam konteks historis Indonesia, Presiden Soekarno pernah dengan tegas menyatakan seruan menolak intervensi bantuan negeri maju. Namun, memang sangat disayangkan slogan "Go to Hell Your Aids" kurang didukung dan direspon dalam kekuatan struktur ekonomi politik yang terkonsolidasi dengan baik.
Oleh. Ruben Frangky Oratmangun
Duta Perdamaian Global 2018-2020 dan President Indonesian Youth Updates (IYU)
Ada tiga faktor esensial yang menyebabkan praktik bantuan yang bercorak 'speculative, metaphysics dan pragmatic' yang dijalankan oleh IMF maupun World Bank justru sering berdampak buruk pada semua negara berkembang yang notabene menjadi negara dengan paling besar nilai utangnya, salah satunya Indonesia.
Rekolonialisasi dalam wujud baru telah mendapat pijakannya pada negara yang secara politik kehilangan visi orientasinya bagi keberlangsungan bangsa dalam jangka panjang. Hampir di beberapa negara berkembang krisis ekonomi selalu tetap bergandengan tidak terpisahkan dengan kondisi carut marut politiknya negara. Negara kemudian secara politis tidak demokratis dan tidak berorientasi pada rakyat dan secara ekonomis sangat bergantung pada dikte kepentingan negeri pemberi bantuan. Liberalisasi dan kebijakan-kebijakan liberal pemotongan konpensasi pada kepentingan-kepentingan publik sebagai syarat mutlak penerimaan bantuan membuktikan bahwa negara secara praktis telah gagal, ditambah lagi tata kelola manajemen negara yang selalu bermasalah dengan tingkat penyelewengan dan korupsi yang akut serta kebijakan yang syarat dengan politik oligarkhi yang otoritatif.
Sistem politik oligarkhi dan kecenderungan tidak demokratis ini menyebabkan ruang-ruang kontrol aktif dari masyarakat terhadap evaluasi pelaksanaan pembangunan terutama berkait dengan berbagai proyek bantuan tidak berjalan semestinya. Kebijakan pembangunan selalu sarat dengan watak elitis dan kadang pragmatis tanpa penggalian pertimbangan dan riset kajian yang jauh.
Cepat atau lambat kondisi ini menyebabkan lahirnya kultur ketergantungan bagi masyarakat sendiri. Secara pragmatis masyarakat kemudian terbiasa dengan bantuan pertolongan orang lain. Contoh yang paling nampak dan hampir secara holistik dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia adalah 'proyek pengentasan kemiskinan' yang selalu dianggap mudah dan hanya diselesaikan dengan asumsi-asumsi dan logika proyek.
Hal ini dianggap cukup urgent dan selama ini tidak dilakukan oleh sebagian besar negara berkembang dalam rangka menjawab problematika bantuan ini adalah mentalitas "keberanian" dari kepemimpinan politik untuk mengatakan "tidak" bagi intervensi asing. Harapan ini kadang dianggap sebelah mata dan langkah konyol dalam kebijakan politik. Padahal secara praktis maupun ideologis cara ini menjadi pintu awal untuk memotong struktur ketergantungan yang menjadi akar ketimpangan sosial dan ketidakadilan global.
Dalam konteks historis Indonesia, Presiden Soekarno pernah dengan tegas menyatakan seruan menolak intervensi bantuan negeri maju. Namun, memang sangat disayangkan slogan "Go to Hell Your Aids" kurang didukung dan direspon dalam kekuatan struktur ekonomi politik yang terkonsolidasi dengan baik.
Oleh. Ruben Frangky Oratmangun
Duta Perdamaian Global 2018-2020 dan President Indonesian Youth Updates (IYU)