Utusan AS Bertemu Benyamin Netanyahu untuk Bahas Rencana Perdamaian Israel - Palestina
Pada
Tuesday, September 24, 2019
Edit
YERUSALEM, LELEMUKU.COM - Utusan Amerika untuk Timur Tengah, Jason Greenblatt, bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Jumat (20/09/2019) di Yerusalem, beberapa hari setelah pemilu yang menyisakan keraguan mengenai masa depan politik pemimpin Israel itu
Netanyahu mengalami kemunduran sewaktu ia dan sekutu-sekutunya gagal meraih cukup banyak suara untuk membentuk koalisi mayoritas sempit sayap kanan. Partai tengah Biru dan Putih, yang meraih kursi terbanyak, telah meminta Netanyahu agar menyingkir untuk menghadapi dakwaan yang diperkirakan akan ditujukan kepadanya terkait serangkaian tuduhan korupsi.
Netanyahu bertemu Greenblatt, arsitek rencana perdamaian Timur Tengah di pemerintahan Presiden Trump, yang menimbulkan keraguan meluas. Palestina telah menolak rencana yang telah lama ditunggu-tunggu itu, dengan mengatakan Gedung Putih terikat pada pemerintah sayap kanan Israel. Greenblatt awal bulan ini menyatakan bahwa ia akan meninggalkan pemerintahan dalam beberapa pekan lagi.
Netanyahu maupun Greenblatt tidak menyampaikan pernyataan mereka. Duta Besar Amerika untuk Israel David Friedman, dan Duta Besar Israel untuk Amerika Ron Dermer juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Pembicaraan perdamaian langsung putaran terakhir antara Israel dan Palestina terhenti tidak lama setelah Netanyahu berkuasa pada tahun 2009. Palestina memutuskan semua kontak dengan Gedung Putih setelah Amerika mengakui Yerusalem yang disengketakan sebagai ibukota Israel.
Israel merebut Yerusalem Timur dan Tepi Barat pada perang tahun 1967. Keduanya adalah daerah yang diinginkan Palestina sebagai ibukota mereka pada masa mendatang. Israel mencaplok Yerusalem Timur dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibukotanya.
Netanyahu mengangkat kedekatan hubungannya dengan Presiden Donald Trump sebagai sorotan utama dalam upayanya terpilih kembali. Ia bertekad akan menduduki bagian-bagian besar daerah pendudukan Israel di Tepi Barat jika ia terpilih kembali sebagai presiden. Pemenuhan janji itu dapat menjadi pukulan akhir bagi solusi satu kota dua negara, yang masih dianggap masyarakat internasional sebagai cara yang paling memungkinkan untuk menyelesaikan konflik. (VOA)
Netanyahu mengalami kemunduran sewaktu ia dan sekutu-sekutunya gagal meraih cukup banyak suara untuk membentuk koalisi mayoritas sempit sayap kanan. Partai tengah Biru dan Putih, yang meraih kursi terbanyak, telah meminta Netanyahu agar menyingkir untuk menghadapi dakwaan yang diperkirakan akan ditujukan kepadanya terkait serangkaian tuduhan korupsi.
Netanyahu bertemu Greenblatt, arsitek rencana perdamaian Timur Tengah di pemerintahan Presiden Trump, yang menimbulkan keraguan meluas. Palestina telah menolak rencana yang telah lama ditunggu-tunggu itu, dengan mengatakan Gedung Putih terikat pada pemerintah sayap kanan Israel. Greenblatt awal bulan ini menyatakan bahwa ia akan meninggalkan pemerintahan dalam beberapa pekan lagi.
Netanyahu maupun Greenblatt tidak menyampaikan pernyataan mereka. Duta Besar Amerika untuk Israel David Friedman, dan Duta Besar Israel untuk Amerika Ron Dermer juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Pembicaraan perdamaian langsung putaran terakhir antara Israel dan Palestina terhenti tidak lama setelah Netanyahu berkuasa pada tahun 2009. Palestina memutuskan semua kontak dengan Gedung Putih setelah Amerika mengakui Yerusalem yang disengketakan sebagai ibukota Israel.
Israel merebut Yerusalem Timur dan Tepi Barat pada perang tahun 1967. Keduanya adalah daerah yang diinginkan Palestina sebagai ibukota mereka pada masa mendatang. Israel mencaplok Yerusalem Timur dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibukotanya.
Netanyahu mengangkat kedekatan hubungannya dengan Presiden Donald Trump sebagai sorotan utama dalam upayanya terpilih kembali. Ia bertekad akan menduduki bagian-bagian besar daerah pendudukan Israel di Tepi Barat jika ia terpilih kembali sebagai presiden. Pemenuhan janji itu dapat menjadi pukulan akhir bagi solusi satu kota dua negara, yang masih dianggap masyarakat internasional sebagai cara yang paling memungkinkan untuk menyelesaikan konflik. (VOA)