Memahami SBY dan Moeldoko di Konflik Demokrat
Pada
Saturday, March 13, 2021
Edit
Pro dan kontra seputar konflik Partai Demokrat sudah pasti ada. Itu hal biasa. Suka atau tidak suka, Kongres Luar Biasa (KLB) yang menetapkan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat beberapa waktu lalu telah menjadi fakta. Konflik internal pun semakin terbuka.
Fakta politik tersebut menandai, konflik di tubuh partai berlambang bintang Mercy itu kini memasuki babak baru. Publik akan disuguhi tontonan drama berkepanjangan. Entah sampai kapan konflik tersebut akan menemukan penyelesaian.
Saya katakan babak baru, karena mulai saat ini resmi ada dualisme kepengurusan yang saling berhadapan. Kepemimpinan Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) hasil Kongres Jakarta, setahun yang lalu, versus Ketum Moeldoko hasil KLB Deli Serdang, Sumatera Utara.
Kedua pimpinan itu sudah pasti akan saling berebut legitimasi dari basis internal, kemudian diuji legalitasnya untuk memperoleh keabsahan secara formal. Kemenkumham pun dapat dipastikan akan memberikan pengesahan final setelah tuntasnya proses hukum di pengadilan. Di sinilah saya katakan bahwa konflik itu akan berkepanjangan.
Kita hanya bisa membaca berbagai kemungkinan, sejauh yang kita ketahui di permukaan. Soal opsi penyelesaian, tentu hanya mereka yang terlibat konflik itu yang secara tepat bisa merumuskan.
Konflik Internal
Menurut saya, konflik yang terjadi itu bukan sesuatu yang luar biasa. Itu konflik internal biasa, karena perbedaan kepentingan. Konflik kepentingan semacam itu sangatlah lazim, apalagi di tubuh partai politik.
Hanya saja, konflik internal partai politik selama ini ada yang tertutup, bersifat laten, dan ini biasanya lebih besar. Ada pula yang terbuka, manifes, dibuktikan nyata secara konfrontatif antar pihak yang berkonflik.
Dari sudut pandang itu, sampai saat ini sebenarnya tak ada satupun partai politik yang lepas dari konflik internal. Secara historis, kita bisa melihat bagaimana konflik partai-partai sejak akhir Orde Baru, misalnya.
Konflik yang dialami Partai Demokrasi Indonesia (PDI), contohnya. Bahkan sangat keras karena nyata-nyata Megawati Soekarnoputri saat itu tidak disukai bahkan mungkin dianggap musuh negara.
Sungguhpun demikian, tetap saja, itu merupakan konflik kepentingan internal berkaitan dengan perebutan pucuk pimpinan partai. Saat itu, kita semua tahu, Soerjadi memang “diperalat” untuk menghadang Megawati. Secara politik, kubu Soerjadi lebih diuntungkan karena mendapatkan proteksi kekuasaan. Pemerintah juga mengesahkannya.
Namun dengan keteguhan, kesabaran, dan konsistensinya, kubu Megawati kemudian melahirkan PDI Perjuangan pada awal 1999, yang justru menjadi kejayaannya saat ini.
Dibanding PDI Perjuangan, apa yang dialami Partai Demokrat sebenarnya belum seberapa. Partai yang “dikuasai” dinasti Yudhoyono itu bahkan nyaris belum pernah berkonflik secara terbuka. Selama ini, hampir semua persoalan bisa dituntaskan penyelesaiannya. Semua di bawah kendali dan dalam genggaman Presiden ke-6 itu.
Demikian pula konflik yang dialami PKB, PPP, Partai Golkar (PG), juga yang lainnya. PKB mungkin menjadi salah satu, atau bahkan satu-satunya, partai era reformasi yang paling sering berkonflik, hingga muncul istilah “Partai Konflik Berkepanjangan”.
Setidaknya, tiga kali partai para kiai itu mengalami konflik sangat serius. Pada 2001 dengan adanya pemecatan Ketum Matori Abdul Djalil, 2005 karena pemecatan Ketum Dr. Alwi Shihab, dan konflik karena Ketum Muhaimin Iskandar dipaksa mundur pada 2008. Dapat dipastikan, semua itu konflik internal karena kepentingan yang berkaitan dengan posisi kepemimpinan.
Konflik bertubi-tubi yang dialami PKB secara terbuka sampai di tingkat pengadilan, justru telah membuat partai ini mempunyai kedewasaan yang lebih. Mungkin, sampai kini pun konflik internal masih tetap ada, tapi semua itu bisa dikelola dengan baik.
PPP dan Golkar juga sama. Pada kasus PPP, konflik terjadi karena pemecatan Ketum Suryadharma Ali oleh Sekjen Romahurmuziy, tak lama setelah Ketum yang juga Menag saat itu ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK, pada pertengahan 2014. Muncul dualisme juga pasca itu, antara kubu Romy dan Djan Faridz.
Yang dialami Golkar juga tak beda. Meskipun selama tiga dekade sangat diuntungkan, karena menjadi mesin politik Orde Baru, namun konflik terbuka di era reformasi tak terelakkan juga. Puncaknya, muncul dualisme kepemimpinan pada akhir 2014, yaitu Ketum Aburizal Bakrie dan Ketum Agung Laksono, hingga berujung pada proses pengadilan.
Karena kepiawaian mantan Ketum Jusuf Kalla akhirnya para pihak yang bertikai itu bisa didamaikan. Kedua kubu sepakat menyelenggarakan Munaslub bersama pada pertengahan 2017 di Bali dan memilih Setya Novanto sebagai ketua umum yang baru.
Dapat dipastikan, hampir semua partai sebenarnya memendam konflik. Baik PAN, NasDem, PKS, Hanura, PBB, bahkan partai gurem yang tak punya peran politik menonjol sekalipun, tak pernah absen dari konflik.
Ada Hikmah
Secara sosiologis, dalam relasi politik, konflik dan konsensus adalah dua keping mata uang yang sama. Maurice Duverger (1967), ilmuwan politik yang juga politisi garis kiri dari Perancis itu, menyebutkan lebih ekstrem lagi. Menurutnya, politik mempunyai dua aspek penting yakni antagonis dan integrasi.
“Ketika konsensus tak bisa diintegrasikan dengan baik, maka akan pasti melahirkan konflik, bahkan yang antagonistik.” Demikian rumus sederhananya.
Itulah yang terjadi di internal Partai Demokrat saat ini. Perbedaan kepentinganlah yang sebenarnya menjadi pemicu utama. Ini lebih pada soal tata kelola partai. Ada akumulasi kekecewaan para kader karena pemecatan.
Bahwa barisan sakit hati itu kemudian membuat perhitungan tersendiri, serta melakukan deal-deal khusus dengan pihak eksternal, itu konsekuensi. Ada kausalitas. Mereka mempunyai hak untuk menyusun kekuatan. Ini sebenarnya merupakan langkah demokratis juga.
Mereka menjatuhkan pilihan ke Moeldoko, bagi saya, dengan pertimbangan realistis saja. Bahwa untuk melawan SBY memang perlu orang kuat, yang cukup tahu rahasia terdalamnya. Moeldoko adalah figur yang tepat. Sebagai mantan Panglima TNI, dia jelas bintang empat. Maka, lebih pas jika konflik yang terjadi saat ini sebenarnya perang bintang: SBY versus Moeldoko.
Jika posisinya sebagai Kepala KSP dipersoalkan, saya juga sependapat. Sebagai pejabat publik, memang harus tegas, sebaiknya tidak mencampur-adukkan kepentingan negara dan urusan politik kepartaian.
Namun, menilai terlalu jauh soal keterlibatan Istana apalagi menganggap ada upaya untuk membonsai Partai Demokrat karena sikap oposisinya selama ini, menurut saya, juga kurang beralasan. Peran oposisi dengan kekuatan tujuh persen di parlemen belumlah cukup membahayakan. Tekad untuk berkoalisi dengan rakyat yang digaungkan selama ini juga masih sebatas slogan belaka.
Yang jelas, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Ada kekecewaan, penyesalan, duka dan luka. Ini jelas dialami kubu SBY. Perasaan dan sikap sebaliknya mungkin terjadi di kubu Moeldoko.
Sikap menang-menangan jelas tak akan menyelesaikan persoalan. Mau tak mau, baik SBY maupun Moeldoko, harus menunjukkan sikap kenegarawanan. Mengambil hikmah dari itu semua. Ini bukan soal suka atau tidak suka.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah lebih mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs.2:216).
IDHAM CHOLID
Ketua Umum Jayanusa; Pembina Gerakan Towel Indonesia