Muktamar NU: dari Gus Dur hingga Gus Yahya
Pada
Thursday, December 30, 2021
Edit
Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya dipercepat. Ini tak lepas dari kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegaitan Masyarakat (PPKM). Tidak hanya jadwal yang dimajukan, tetapi juga pelaksanaannya. Cukup dua hari, 22-23 Desember; dari jadwal semula, 23-25 Desember 2021.
Dengan demikian, Kamis malam atau Jumat dini hari kita sudah bisa mengetahui hasilnya, siapa yang terpilih menjadi Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) nanti.
Memang tidak hanya itu yang dihasilkan. Muktamar juga membahas, bagaimana perubahan tata aturan dan program organisasi. Juga tak kalah pentingnya, kajian hukum yang dihasilkan forum Bahtsul Masaail yang membahas berbagai persoalan dalam perspektif keislaman.
Tradisi Keulamaan
Meski demikian, “perebutan” Ketua Umum PBNU selama ini selalu menyita perhatian. Kita tak memungkiri, siapa yang terpilih, itulah yang paling dinanti.
Saat ini ada dua nama yang mengemuka, yaitu KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf—yang akrab disapa Gus Yahya. Sebagai petahana, Kiai Said masih dimungkinkan maju kembali karena memang tak ada larangan untuk menjabat tiga periode. Belum ada aturan yang secara khusus membatasi jabatan itu.
Sementara Gus Yahya, kita tahu, juga mendapatkan banyak dukungan. Sebagai Katib Aam, jelas, dia yang paling layak saat ini. Kenapa? Jika melihat “tradisi” sebelumnya, Ketua Umum PBNU selalu menduduki jabatan Katib Aam terlebih dahulu.
Gus Dur contohnya, yang pasca Muktamar Semarang pada 1979 menduduki jabatan itu hingga terpilih sebagai Ketua Umum PBNU saat Muktamar 1984 di Situbondo. Atau, Kiai Said sendiri misalnya, sebelum terpilih sebagai Ketua Umum pada Muktamar Makassar 2010, sejak Muktamar Boyolali pada 2004 telah menjabat Katib Aam.
Baik Gus Dur, Kiai Said, maupun Gus Yahya, sebelum menjadi Katib Aam juga telah berkhidmah di PBNU, sebagai Katib. Katib Aam adalah orang kedua setelah Rais Aam. Adapun Katib, membantu tugas-tugas Katib Aam. Semua itu jabatan di Syuriah.
Kita tahu, Syuriah adalah lembaga “tertinggi” di NU, sebagai representasi kepemimpinan ulama. Maaf, saya memberikan tanda petik, karena sampai hari ini Syuriah tak jarang masih disalahpahami hanya sebagai pelengkap.
Namun kita tidak akan membahas soal itu. Yang pasti, siapapun yang telah melewati pengabdian di jajaran Syuriah, ia telah teruji keulamaannya. Apalagi sebagai Katib Aam, pastilah dapat menjalankan tradisi keulamaan dengan baik.
Bagaimanapun, NU tak bisa lepas dari tradisi itu. Boleh dikata, Gus Dur dan Kiai Said merupakan contoh terbaik tipologi kepemimpinan NU yang sangat kuat dengan tradisi keulamaan. Gus Yahya juga mewarisi itu.
Santri Gus Dur
Baik Kiai Said maupun Gus Yahya adalah “santri” Gus Dur. Santri bukan dalam arti sebagaimana di pesantren, tetapi lebih sebagai penerus yang mewarisi pemikiran, sikap, perannya. Demikian pula KH Hasyim Muzadi. Meskipun dia sampaikan lebih dulu aktif di NU dibanding Gus Dur sendiri.
Kiai Hasyim berjuang di NU benar-benar dari bawah, aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ansor sejak di Malang, ketika Gus Dur masih studi di luar negeri. Selisih umur keduanya juga tak jauh. Kiai Hasyim kelahiran 1944, lebih muda empat tahun dari Gus Dur.
Kiai Hasyim merupakan penerus Gus Dur saat transisi di awal era reformasi. Terpilih di Muktamar Lirboyo, Jatim, pada 1999 saat Gus Dur baru saja menjabat Presiden RI. Artinya, Kiai Hasyim menjadi orang terpercaya yang dapat melanjutkan kepemimpinan Gus Dur.
Tanpa menafikkan peran yang lain, Kiai Hasyim telah menjadi “operator” yang baik dalam menyukseskan Partai Kebangikitan Bangsa (PKB, yaitu partai bentukan NU) pada Pemilu pertama era reformasi. Sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim saat itu, dia telah berhasil mengamankan basis utama nahdliyin. Tak hanya itu, dia pula yang setia “mengawal” kepresidenan Gus Dur di tengah gempuran politik hingga Gus Dur dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 2001.
Kiai Said juga demikian. Dia sering sampaikan, memang tak pernah ngaji secara langsung dengan Gus Dur layaknya santri di pondok pesantren. Namun diakuinya, dari Gus Dur lah dia banyak belajar bagaimana menghadapi berbagai persoalan. Berkaitan dengan kepemimpinan, politik kebangsaan dan wawasan keagamaan, boleh dikata Kiai Said adalah “copy paste” Gus Dur.
Bahkan, terutama tentang kepemimpinan NU, Kiai Said sendiri mengakui telah menerima “petunjuk khusus” dari Gus Dur. Ketika dia hendak maju pada Muktamar 2004 di Boyolali, Gus Dur melarangnya. “Sampean akan jadi Ketua Umum PBNU nanti setelah umur 55 tahun,” demikian Gus Dur, sebagaimana sering diceritakan Kiai Said.
Benar saja. Kiai Said yang kelahiran 1953 berhasil tepilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar 2010 di Makassar, saat usia 57 tahun. Di sinilah Kiai Said sering tegaskan tentang kewalian Gus Dur.
Adapun Gus Yahya, tentang hubungan dan kedekatannya dengan Gus Dur, jelas tak diragukan lagi. Bukan sekadar karena pernah menjadi juru bicara kepresidenannya. Tetapi dia memang sangat dipercaya. Buktinya, dia yang membacakan Dekrit Presiden yang kemudian memantik pelengseran Gus Dur.
Artinya, Gus Yahya adalah segelintir kader NU yang sangat setia dengan Gus Dur. Dia yang berani mengambil peran penting, justru ketika masa paling sulit. Namun sampai hari ini, boleh dibuktikan, hanya Gus Yahya yang belum mendapat “keberuntungan” di antara sekian banyak orang yang mempunyai kedekatan dengan Gus Dur. Dia tak pernah menjadi apa-apa, selain hanya menjadi juru bicara yang setia.
Secara usia, Gus Yahya yang kelahiran 1966 memang anak Gus Dur. Ayah Gus Yahya, KH Cholil Bisri, atau pamannya yaitu KH Mustofa Bisri, adalah karib Gus Dur. Melalui keduanya, Gus Yahya didekatkan langsung dengan Presiden ke-4 RI tersebut.
Sampai hari ini, Gus Yahya masih membuktikan kesetiaannya. Dia menjadi anak ideologis Gus Dur, tidak hanya bisa bicara banyak hal, tapi benar-benar menerjemahkan gagasan besarnya tentang perdamaian dunia. Dia buktikan itu, dengan berani menentang arus, hingga datangi Israil sekalipun. Dia telah menghidupkan Gus Dur kembali.
Dalam konteks ke-NU-an, harus diakui, Gus Dur memang tak bisa dipisahkan. Bicara tentang NU tentu tak akan sempurna jika mengabsenkan kiprahnya. Pengaruh Gus Dur sangat kuat, tidak saja karena tiga periode menjadi Ketua Umum PBNU. Kekuatannya, justru terletak pada gagasan dan pemikiran yang dinilai melampaui zaman.
Yang paling fundamental, Gus Dur telah merubah orientasi NU, dan menempatkan secara benar dalam relasinya dengan negara. Kembali ke Khittah 1926, sebagaimana keputusan Muktamar 1984 di Situbondo, adalah bagian terpenting dari gagasannya yang telah membawa perubahan mendasar NU sebagai kekuatan civil society.
Tidak hanya merubah cara pandang terhadap dunia politik, Khittah itu pula yang telah menjadi titik balik keberpihakan NU lebih nyata untuk memberdayakan umatnya. Dan sejarah juga mencatat, di Situbondo lah deklarasi hubungan antara agama dan negara ditetapkan. NU menjadi pelopor tuntasnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Pemimpin Muda
Muktamar ke-34 kali ini benar-benar memiliki makna strategis. Inilah perhelatan besar NU di akhir satu abad masa khidmahnya. NU akan memasuki abad kedua. Tentu, tantangan tidak semakin ringan. Arus perubahan tak mungkin terhindarkan.
Perubahan secara demografis saja misalnya. Penduduk Indonesia saat ini, 52.6 persen adalah generasi Z dan millenial (2020), dan 85.0 persen sudah terkoneksi dengan internet (2021). Diproyeksikan, pada 2045, sebesar 72.8 persen tinggal di wilayah urban. Setidaknya, “urban” secara kultural.
Tentu, itu semua membawa implikasi yang cukup serius. Wacana pemikiran yang lebih rasional dan ideologi yang makin beragam, semakin longgarnya ikatan kultural dan emosional, secara personal juga semakin independen dan terbuka, dengan tuntutan ekonomi yang makin tinggi, adalah sekian konsekuensi yang dihadapi.
Sebagai ormas Islam terbesar, bahkan di seluruh dunia, tentu NU harus membenahi diri dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks ini, pemimpin dengan gagasan pemikiran, strategi, dan tatakelola baru, benar-benar diharapkan. Karenanya, perlu tampil pemimpin muda seperti Gus Yahya.
Jika di Muktamar ke-34 ini dia ditakdirkan terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, memang sudah waktunya. Yang jelas, setiap masa mempunyai pemimpinnya sendiri. Sebaliknya, pemimpin pasti akan lahir di masa yang tepat pula. Di antara sekian kader muda NU, Gus Yahya adalah yang sangat tepat. Dia menjadi salah satu pemimpin muda yang diharapkan.
Di usia 55 tahun saat ini, Gus Yahya tentu sudah sangat matang. Dia yang seumuran Kiai Hasyim ketika terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1999, sebenarnya masih kalah muda dengan Gus Dur yang tampil saat usianya menginjak 44 tahun. Inipun, bukan yang paling muda.
Dalam sejarah NU, tercatat ada tiga pemimpin muda, tampil sebagai Ketua Umum ketika usianya belum 40 tahun. KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur sendiri, menjadi Ketua Umum PBNU saat usianya 37 tahun. KH Idham Chalid di usia 35 tahun. Lebih muda lagi KH Mahfudz Shiddiq, kakak Rais Aam KH Ahmad Shiddiq, yang terpilih menjadi Ketua Umum ketika masih 30 tahun.
Saat ini, setidaknya, Gus Yahya menjadi representasi generasi 60an. Ke depan, generasi 70an bahkan 80an sudah banyak bertumbuhan. Maka perlu kebesaran jiwa dan kesadaran bersama. Regenerasi kepemimpinan jangan lagi ditunda, tak lain, untuk tampilnya para pemimpin muda.
Kalisuren, 21 Desember 2021
Idham Cholid
Kader NU, Alumni PMII, Ketua Umum Jayanusa
Dengan demikian, Kamis malam atau Jumat dini hari kita sudah bisa mengetahui hasilnya, siapa yang terpilih menjadi Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) nanti.
Memang tidak hanya itu yang dihasilkan. Muktamar juga membahas, bagaimana perubahan tata aturan dan program organisasi. Juga tak kalah pentingnya, kajian hukum yang dihasilkan forum Bahtsul Masaail yang membahas berbagai persoalan dalam perspektif keislaman.
Tradisi Keulamaan
Meski demikian, “perebutan” Ketua Umum PBNU selama ini selalu menyita perhatian. Kita tak memungkiri, siapa yang terpilih, itulah yang paling dinanti.
Saat ini ada dua nama yang mengemuka, yaitu KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf—yang akrab disapa Gus Yahya. Sebagai petahana, Kiai Said masih dimungkinkan maju kembali karena memang tak ada larangan untuk menjabat tiga periode. Belum ada aturan yang secara khusus membatasi jabatan itu.
Sementara Gus Yahya, kita tahu, juga mendapatkan banyak dukungan. Sebagai Katib Aam, jelas, dia yang paling layak saat ini. Kenapa? Jika melihat “tradisi” sebelumnya, Ketua Umum PBNU selalu menduduki jabatan Katib Aam terlebih dahulu.
Gus Dur contohnya, yang pasca Muktamar Semarang pada 1979 menduduki jabatan itu hingga terpilih sebagai Ketua Umum PBNU saat Muktamar 1984 di Situbondo. Atau, Kiai Said sendiri misalnya, sebelum terpilih sebagai Ketua Umum pada Muktamar Makassar 2010, sejak Muktamar Boyolali pada 2004 telah menjabat Katib Aam.
Baik Gus Dur, Kiai Said, maupun Gus Yahya, sebelum menjadi Katib Aam juga telah berkhidmah di PBNU, sebagai Katib. Katib Aam adalah orang kedua setelah Rais Aam. Adapun Katib, membantu tugas-tugas Katib Aam. Semua itu jabatan di Syuriah.
Kita tahu, Syuriah adalah lembaga “tertinggi” di NU, sebagai representasi kepemimpinan ulama. Maaf, saya memberikan tanda petik, karena sampai hari ini Syuriah tak jarang masih disalahpahami hanya sebagai pelengkap.
Namun kita tidak akan membahas soal itu. Yang pasti, siapapun yang telah melewati pengabdian di jajaran Syuriah, ia telah teruji keulamaannya. Apalagi sebagai Katib Aam, pastilah dapat menjalankan tradisi keulamaan dengan baik.
Bagaimanapun, NU tak bisa lepas dari tradisi itu. Boleh dikata, Gus Dur dan Kiai Said merupakan contoh terbaik tipologi kepemimpinan NU yang sangat kuat dengan tradisi keulamaan. Gus Yahya juga mewarisi itu.
Santri Gus Dur
Baik Kiai Said maupun Gus Yahya adalah “santri” Gus Dur. Santri bukan dalam arti sebagaimana di pesantren, tetapi lebih sebagai penerus yang mewarisi pemikiran, sikap, perannya. Demikian pula KH Hasyim Muzadi. Meskipun dia sampaikan lebih dulu aktif di NU dibanding Gus Dur sendiri.
Kiai Hasyim berjuang di NU benar-benar dari bawah, aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ansor sejak di Malang, ketika Gus Dur masih studi di luar negeri. Selisih umur keduanya juga tak jauh. Kiai Hasyim kelahiran 1944, lebih muda empat tahun dari Gus Dur.
Kiai Hasyim merupakan penerus Gus Dur saat transisi di awal era reformasi. Terpilih di Muktamar Lirboyo, Jatim, pada 1999 saat Gus Dur baru saja menjabat Presiden RI. Artinya, Kiai Hasyim menjadi orang terpercaya yang dapat melanjutkan kepemimpinan Gus Dur.
Tanpa menafikkan peran yang lain, Kiai Hasyim telah menjadi “operator” yang baik dalam menyukseskan Partai Kebangikitan Bangsa (PKB, yaitu partai bentukan NU) pada Pemilu pertama era reformasi. Sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim saat itu, dia telah berhasil mengamankan basis utama nahdliyin. Tak hanya itu, dia pula yang setia “mengawal” kepresidenan Gus Dur di tengah gempuran politik hingga Gus Dur dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 2001.
Kiai Said juga demikian. Dia sering sampaikan, memang tak pernah ngaji secara langsung dengan Gus Dur layaknya santri di pondok pesantren. Namun diakuinya, dari Gus Dur lah dia banyak belajar bagaimana menghadapi berbagai persoalan. Berkaitan dengan kepemimpinan, politik kebangsaan dan wawasan keagamaan, boleh dikata Kiai Said adalah “copy paste” Gus Dur.
Bahkan, terutama tentang kepemimpinan NU, Kiai Said sendiri mengakui telah menerima “petunjuk khusus” dari Gus Dur. Ketika dia hendak maju pada Muktamar 2004 di Boyolali, Gus Dur melarangnya. “Sampean akan jadi Ketua Umum PBNU nanti setelah umur 55 tahun,” demikian Gus Dur, sebagaimana sering diceritakan Kiai Said.
Benar saja. Kiai Said yang kelahiran 1953 berhasil tepilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar 2010 di Makassar, saat usia 57 tahun. Di sinilah Kiai Said sering tegaskan tentang kewalian Gus Dur.
Adapun Gus Yahya, tentang hubungan dan kedekatannya dengan Gus Dur, jelas tak diragukan lagi. Bukan sekadar karena pernah menjadi juru bicara kepresidenannya. Tetapi dia memang sangat dipercaya. Buktinya, dia yang membacakan Dekrit Presiden yang kemudian memantik pelengseran Gus Dur.
Artinya, Gus Yahya adalah segelintir kader NU yang sangat setia dengan Gus Dur. Dia yang berani mengambil peran penting, justru ketika masa paling sulit. Namun sampai hari ini, boleh dibuktikan, hanya Gus Yahya yang belum mendapat “keberuntungan” di antara sekian banyak orang yang mempunyai kedekatan dengan Gus Dur. Dia tak pernah menjadi apa-apa, selain hanya menjadi juru bicara yang setia.
Secara usia, Gus Yahya yang kelahiran 1966 memang anak Gus Dur. Ayah Gus Yahya, KH Cholil Bisri, atau pamannya yaitu KH Mustofa Bisri, adalah karib Gus Dur. Melalui keduanya, Gus Yahya didekatkan langsung dengan Presiden ke-4 RI tersebut.
Sampai hari ini, Gus Yahya masih membuktikan kesetiaannya. Dia menjadi anak ideologis Gus Dur, tidak hanya bisa bicara banyak hal, tapi benar-benar menerjemahkan gagasan besarnya tentang perdamaian dunia. Dia buktikan itu, dengan berani menentang arus, hingga datangi Israil sekalipun. Dia telah menghidupkan Gus Dur kembali.
Dalam konteks ke-NU-an, harus diakui, Gus Dur memang tak bisa dipisahkan. Bicara tentang NU tentu tak akan sempurna jika mengabsenkan kiprahnya. Pengaruh Gus Dur sangat kuat, tidak saja karena tiga periode menjadi Ketua Umum PBNU. Kekuatannya, justru terletak pada gagasan dan pemikiran yang dinilai melampaui zaman.
Yang paling fundamental, Gus Dur telah merubah orientasi NU, dan menempatkan secara benar dalam relasinya dengan negara. Kembali ke Khittah 1926, sebagaimana keputusan Muktamar 1984 di Situbondo, adalah bagian terpenting dari gagasannya yang telah membawa perubahan mendasar NU sebagai kekuatan civil society.
Tidak hanya merubah cara pandang terhadap dunia politik, Khittah itu pula yang telah menjadi titik balik keberpihakan NU lebih nyata untuk memberdayakan umatnya. Dan sejarah juga mencatat, di Situbondo lah deklarasi hubungan antara agama dan negara ditetapkan. NU menjadi pelopor tuntasnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Pemimpin Muda
Muktamar ke-34 kali ini benar-benar memiliki makna strategis. Inilah perhelatan besar NU di akhir satu abad masa khidmahnya. NU akan memasuki abad kedua. Tentu, tantangan tidak semakin ringan. Arus perubahan tak mungkin terhindarkan.
Perubahan secara demografis saja misalnya. Penduduk Indonesia saat ini, 52.6 persen adalah generasi Z dan millenial (2020), dan 85.0 persen sudah terkoneksi dengan internet (2021). Diproyeksikan, pada 2045, sebesar 72.8 persen tinggal di wilayah urban. Setidaknya, “urban” secara kultural.
Tentu, itu semua membawa implikasi yang cukup serius. Wacana pemikiran yang lebih rasional dan ideologi yang makin beragam, semakin longgarnya ikatan kultural dan emosional, secara personal juga semakin independen dan terbuka, dengan tuntutan ekonomi yang makin tinggi, adalah sekian konsekuensi yang dihadapi.
Sebagai ormas Islam terbesar, bahkan di seluruh dunia, tentu NU harus membenahi diri dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks ini, pemimpin dengan gagasan pemikiran, strategi, dan tatakelola baru, benar-benar diharapkan. Karenanya, perlu tampil pemimpin muda seperti Gus Yahya.
Jika di Muktamar ke-34 ini dia ditakdirkan terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, memang sudah waktunya. Yang jelas, setiap masa mempunyai pemimpinnya sendiri. Sebaliknya, pemimpin pasti akan lahir di masa yang tepat pula. Di antara sekian kader muda NU, Gus Yahya adalah yang sangat tepat. Dia menjadi salah satu pemimpin muda yang diharapkan.
Di usia 55 tahun saat ini, Gus Yahya tentu sudah sangat matang. Dia yang seumuran Kiai Hasyim ketika terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1999, sebenarnya masih kalah muda dengan Gus Dur yang tampil saat usianya menginjak 44 tahun. Inipun, bukan yang paling muda.
Dalam sejarah NU, tercatat ada tiga pemimpin muda, tampil sebagai Ketua Umum ketika usianya belum 40 tahun. KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur sendiri, menjadi Ketua Umum PBNU saat usianya 37 tahun. KH Idham Chalid di usia 35 tahun. Lebih muda lagi KH Mahfudz Shiddiq, kakak Rais Aam KH Ahmad Shiddiq, yang terpilih menjadi Ketua Umum ketika masih 30 tahun.
Saat ini, setidaknya, Gus Yahya menjadi representasi generasi 60an. Ke depan, generasi 70an bahkan 80an sudah banyak bertumbuhan. Maka perlu kebesaran jiwa dan kesadaran bersama. Regenerasi kepemimpinan jangan lagi ditunda, tak lain, untuk tampilnya para pemimpin muda.
Kalisuren, 21 Desember 2021
Idham Cholid
Kader NU, Alumni PMII, Ketua Umum Jayanusa