Trump, Putin, Jin Ping, dan Penundaan Pemilu
Pada
Sunday, April 17, 2022
Edit
Empat minggu yang lalu kolumnis kondang The New York Times, Tom Friedman, menulis tentang tiga tokoh besar dunia Trump, Putin, dan Jin Ping. Ketiga mereka berupaya keras memperpanjang masa jabatannya. Dua berhasil, Jin Ping, dan Putin, satunya lagi, Trump, gagal.
Tom mungkin sibuk, dia abai dengan kejadian di Indonesia yang kejadian dan substansinya relatif sama. Di tiga negara itu presidennya ngotot, di Indonesia tidak. Justeru elit dan orang dekat presiden yang ngotot. Ibarat bola kaki, mungkin juga Tom sedang menunggu hasil akhir, 3-1 atau 2-2
Di Cina Xi Jin Ping dengan mudah mengubah konstitusi RRC melalui Kongres Nasional Rakyat. Dengan komposisi 2,958 menerima, 2 suara menolak dan 3 abstain ,terhapus sudah pembatasan periode dua kali jabatan presiden Cina. Warisan reformasi Deng Xioping jadi sejarah, dan kini, peluang menjadi presiden seumur hidup, terbuka lebar untuk Jin Ping.
Putin berhasil mengubah konstitusi Rusia pada tahun 2008, dan 2020 yang membatasi dua periode jabatan presiden. Ia dengan mudah mendikte parlemen Rusia, Duma, untuk perobahan itu. Putin terpilih tahun 2000, berlanjut 2004, 2014, dan 2018. Masa jabatannya saat ini akan berakhir pada tahun 2024.Namun, amendemen konstitusi memberikan lagi peluang kepadanya dua kali enam tahun. Ia akan berumur 83 tahun saat itu, hanya kalah dengan Stalin dalam lamanya berkuasa.
Kejadian yang sangat berbeda terjadi di AS. Trump yang berambisi untuk masa kedua, bahkan dengan mengerahkan “people’s power”, namun ia gagal. Kenapa?, karena kelembagaan demokrasi yang dimiliki AS sangat kuat, dan tidak gampang untuk diutak atik, sekalipun dihela oleh berbagai kekuatan untuk ambruk.
Berbeda dengan Putin dan Jin Ping, para penganjur penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden di negeri ini,bekerja lebih kreatif. Mereka menggunakan alasan hantaman pandemi Covid-19, dan pembangunan IKN sebagai justifikasi penundaan pemilu.
Kreativitas paling baru, mungkin pertama kali di dunia, adalah menggunakan indikator digital big data dalam upaya kebijakan politik membelokkan konstitusi negara. Tidak tanggung- tanggung, klaim 110 juta pengguna media sosial, yang ingin pemilu ditunda, bukan main. Inilah mungkin salah satu calon hibrida demokrasi digital yang dapat mengalahkan kreativitas Silicon Valey
Jika Putin mengacaukan pemilihan Presiden AS yang membuat Trump menang dengan berbagai propaganda di sosial media, di negeri kita justeru perbincangan sosial media—itupun belum pasti ada dan benar—yang hendak dipakai sebagai justifikasi penundaan Pemilu.
Buku tebal sejarah demokrasi menunjukkan, ketika penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden diberlakukan, akan ada berbagai elemen tambahan yang tidak bisa dihindari. Ada paket lengkap pembelokan konstitusi perpanjangan masa jabatan presiden sebagai penyerta yang tidak bisa dielakkan.
Pekerjaan pertama adalah merobah “narasi nasional” tentang betapa parahnya tantangan masa depan yang akan sangat sulit dilalui, dan betapa dibutuhkan pemimpin yang hebat, visioner, berkomitmen tinggi, berpengalaman, jujur, dan sejumlah sifat kepemimpinan hebat dan terpuji lainnya yang hanya ada dalam buku-buku John.C. Maxwell.
Narasi Putin, adalah narasi kedaulatan Rusia Raya selama lebih satu millenium. Narasi itu menyalahkan Partai Komunis, terutama Gorbachev yang telah membuat Rusia hina dan diobok- obok AS dan sekutunya. Putin adalah Peter Agung abad ke 21, dan di tangannyalah Rusia akan kembali jaya.
Gambaran Jin Ping untuk publik Cina dikemas dengan sangat canggih. Setahun yang lalu, PKC mengeluarkan dokumen bersejarah yang mensejajarkan Ji Ping dengan Ketua Mao, dan reformis hebat Deng Xioping.
Keputusan ini menyertai dokumen penting lainnya yang menyebutkan target pembangunan pada tahun 2049 untuk mencapai Cina yang maju, kaya, dan kuat. Pintu masuk presiden seumur hidup terbuka sudah untuk Ji Ping. Ji Ping menambah lagi narasinya “sosialisme ala Cina.”
Apa yang dilakukan Ji Ping dan Putin sebenarnya hanyalah pengulangan narasi para diktator, semenjak Julius Cesar memaksa senat Romawi. Bukankah ia tercatat sebagai diktator pertama dalam sejarah dunia?
Trump yang hendak menjadikan dirinya sebagai “penyelamat” AS membuat narasi yang serupa. Ia menggunakan istilah mengembalikan kebesaran AS yang telah dirusak pendahulunya dengan membiarkan Cina, Islam, dan migran mengobok-ngobok Amerika.
Ada unsur “messiah” yang ditampilkan dan diputar dengan mesin dan mekanisme berkelanjutan Dan itu adalah mesin pembodohan publik yang paling berbahaya. Di negara maju dan demokratis saja seperti AS mesin itu dapat berjalan, seperti jaringan televisi Fox yang sampai hari ini tak pernah henti berkhotbah menampilkan messiah AS, Trump.
Kerabat dekat perpanjangan jabatan kepala negara adalah oligarkhi. Oligarki jelas “tak salah”, karena kapital pada hakekatnya ditujukan untuk mengumpulkan kekayaan dengan berbagai kreativitas., termasuk kreativitas mutualisme dengan kekuasaan, apalagi kekuasaan yang akan lama dan panjang.
Kontroversi Roman Abramovich membeli BUMN migas Rusia, Sibnet. 250 juta dolar dan menjualnya 13 milyar dolar kepada BUMN Gazprom ketika Putin berkuasa adalah contoh nyata kelidan oligarkhi dengan kekuasaan. Abromovich adalah satu dari belasan anggota oligarki Putin yang kini tersiar banyak di media internasional akibat sanksi AS.
Sejumlah eks negara Uni Soviet yang mirip dengan cara Putin juga mempunyai oligarkhi yang leluasa, seperti Uzbekistan Azerbaijan, dan Turkmenistan. Bahkan tidak kurang di sebagian negara, presidennya sekaligus menjadi oligarki tunggal, seperti Nazarbayev di Kazakhstan, dan Lukashenko di Belarus.
Bila perpanjangan masa presiden dan oligarki sudah bertemu, maka ada syarat lain yang juga harus dipenuhi, dan bahkan mutlak harus dipenuhi. Syarat itu adalah pembungkaman kebebasan, pengebirian demokrasi, dan berbagai atribut manajemen represi kehidupan publik.
Kebebasan pers menjadi barang mewah, ancaman terhadap politisi oposan menjadi biasa, dan bahkan pembunuhan terhadap pembangkang dapat terjadi. Semua yang sedang terjadi di Rusia telah pernah terjadi sebelumnya, namun kini semua dikemas dalam konteks abad ke 21.
Di Cina, revolusi digital yang diimpikan banyak orang sebagai instrumen kebebasan, kini telah berbalik arah justru menjadi instrumen pengendali perilaku publik.
Semua pihak harus sadar bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang alami. Ketika reformasi dimulai, Indonesia baru saja memulai gelombang kedua demokrasi nasional setelah gagal pada masa awal pasca merdeka. Untuk menjamin demokrasi berlanjut, dibutuhkan kerja keras, karena cerita negara demokrasi muda, seringkali mati pucuk, justeru di tangan penjaganya yang paling dekat.
Ibarat tanaman, demokrasi haruslah diairi, dirawat, dipupuk, dan diberikan perlakuan yang semestinya, sehingga akan memberikan hasil yang semestinya pula. Apa yang sedang terjadi hari ini tidak lain dari upaya sebagian orang di lingkaran kekuasaan untuk mengganggu, dan akhirnya mematikan tanaman demokrasi.
Ada sebuah pertanyaan besar yang belum terjawab sampai hari ini. Presiden Jokowi telah menyatakan tidak setuju. Mekanisme koreksi internal rezim kekuasaan seperti apa yang disuarakan oleh Megawati dan Surya Paloh sudah bekerja. Namun itu belum cukup ampuh untuk membuat kehebohan itu berhenti. Kekuatan apa sebenarnya yang terus menerus memberi energi yang bekerja untuk membuat wacana itu berjalan ?
Memegang dan menjalankan kekuasaan kadang tak ubahnya seperti makan makanan enak. Ungkapan Perancis menyatakan “l’appetit vient en manger” artinya, selera datang ketika sedang makan. Di ujung barat Indonesia, Aceh, ungkapannya hampir serupa “mangat that bu, tamah lom”—nasinya enak sekali, ayo tambah lagi. Jokowi pernah tinggal di Aceh dua tahun, dan dia tahu kata untuk mengatakan tidak, “kasep”,—cukup, dan kata perintah “bek le”—jangan lagi.
Ahmad Humam Hamid
Guru besar Universitas Syiah Kuala, Aceh